Kamis pagi 6 Oktober 2011 itu saya harus pergi meninggalkan istri saya dengan perut besarnya dirumah, sendiri. Karena aku masih harus melakukan presentasi ku yang terakhir untuk seorang klien dari sumatera utara. Rumah kami yang terlalu jauh memang mengkhawatirkan bagi saya untuk dapat kembali kerumah tepat waktu, karena hari itu adalah jadwal istri saya tercinta periksa pada dokter spesialis yang bertitle S.POG.
Waktu yang berjalan singkat dan padat dalan situasi rumitnya kegilaan kota Jakarta, akhirnya berjalan hingga sore hari pada dirikiu. Istri ku tercinta pun berangkat dengan beraninya, sendiri menuju rumah sakit bersalin yang lumayan jauh dari jarak rumah petakan kami yang kecil.
Ketika itu dia pun menelpon saya melalui HP murah yang aku pegang, ia mengatakan bahwa dia telah di rumah sakit bersalin tersebut, dan menyuruh saya untuk langsung menemuinya disana. Namun apadaya, kejahatan kota ini terhadap waktu memang benar-benar sulit untu dimaafkan. Akhirnya istri ku pun pulang kembali, masih dengan sendiri ditemani dengan perut besarnya dan berencana untuk bertemu saya di bilik rumah saja.
Pada hari-hari sebelumnya aku pun seharusnya telah memiliki jadwal untuk memotret sebuah pesta perusahaan yang memang telah menjadi langganan kami selama beberapa tahun ini. Namun karena bantuan seorang sahabat, ia pun bersedia membantuku untuk mencover pemotretan dokumentasi tersebut. “terima kasih kawan, dimana pun kamu berada ?”, aku sangat-sangat menghargainya.
Ketika aku sampai dirumah tepat pada adzan magrib, istri ku yang paliiing kucintai telah menyiapkan semuanya, baju, kain, alat-alat mandi, dan segala kelengkapan lainnya serta sebuah tas besar berwarna biru keunguan. Kemudian aku pun mencium dan memeluknya sejenak. Yah, ekspresi wajah itu tak pernah ku lupa. Dimana kerutan di alis matanya seperti memancarkan paranoia yang luar biasa.
Tak lama pun kami berangkat..
Sesampainya disana, istri ku diminta masuk untuk dilakukan pemeriksaan standart, dan saya tentunya dipanggil ke kantor administrasi untuk menandatangani surat-surat birokrasi, mengenai biaya, obat-obatan, izin dsb. Bidan –bidan disana sangat bersahabat, dan hal tersebut membuat ku lebih tenang. Bubuhan tanda tanganku pun aku berikan setelah kubaca isi formulir dan obat-obatan yang akan diberikan pada istri saya.
Masih pukul 19.30 ketika aku memasuki ruang bersalin dimana istri saya berbaring dengan infuse yang baru diberikan oleh suster disana. Saat infuse induksi itu mulai tertancap di urat nadi pada perempuan terkuat, terpintar dan tercantik yang pernah kumiliki ini berjalan, pada saat itulah keajaiban dan tantangan baru akan segera dimulai.
Rintihan pelan pun segera keluar perlahan dan perlahan dari mulut indahnya. Rintihan-rintihan kesakitan yang menyayat diriku lemas dan tak berdaya.
Jam dinding putih dan bulat itu seakan berjalan sangat lamban, akan tetapi semakin menunjukkan fatamorgana kecepatannya. Satu, dua, tiga jam hingga tengah malam dan tanggal Masehi pun berubah menjadi angka 7 pada bulan Oktober ini. Saat itu pun aku teringat Matahari, tanggal ini adalah tanggal ulang tahunnya yang ke-3 nya, dan mama papa tidak bisa hadir didekatnya. Kesedihan ku bertambah dengan melihat istri ku terbaring disini dengan kesakitan yang dialaminya. Sedangkan aku hanya bisa berdo’a kepada yang tak pasti.
Waktu pun tetap berjalan tanpa ada perubahan yang berarti. Seorang bidan yang baik itu pun kembali memeriksanya, dan dia hanya berkata “Belum bu, masih 2cm. Sabar yah..”, katanya dengan senyuman yang menenangkan ku, walau tidak begitu berpengaruh pada istriku sendiri.
Adzan subuh yang terdengar dari kejauhan meyakinkan hari akan mengeluarkan kekuatan cahayanya pada bumi. Istri saya masih tebaring, kadang tidur sejenak lalu bangun kembali karena rasa sakitnya. Aku pun hanya bisa menemani di sebelahnya, memegang tangannya dan berusaha menenangkannya. Yaah, walau sesekali aku harus keluar juga untuk menikmati racun dari asap tembakau yang berfilter itu.
Detik yang berjalan terus membawa bidan jaga yang lain untuk memeriksa keadaan istri ku. Pukul 8 pagi itu, belum ada perubahan sama sekali,” masih 2cm katanya”. Sudah 12 jam istri saya berbaring gelisah, namun calon manusia kecilku belum juga menunjukkan tanda-tanda kelahirannya.
Aku pun meninggalkan istri ku lagu sejenak, untuk pulang dan membersihkan diri dengan kekhawatiran-kekhawatiranku, kemudian beristirahat sejenak hingga tak sadar akupun tertidur sebentar di rumah. Tak lama istri ku menghubungi ku melalui hp yang membangunkan ku, dan bergegas kembali ke rumah sakit bersalin tersebut. “maaf ya sayaank, gw ketiduran, sorry yaaa :(
Jam 12 sudah dimulai lagi, hanya kali ini siang lah yang menguasai waktu dan bidan kembali memeriksa. Ada kenaikan hanya 1cm katanya, “ sekarang sudah bukaan 3, masih nunggu ya bu..,” kemudian beliau mengganti infuse induksi yang sudah mulai kosong dengan yang baru.
Aku pun mulai berpikir kosong, dan merasa sedikit frustasi akan hal ini. Melihat istri ku dalam kesakitan itu, membuat ketakutan-ketakutan itu datang semakin dekat dengan sendirinya pada diriku. Rintihan nya semakin keras dan semakin sering. Aku hanya bisa memegang tangan dan berusaha menenangkannya sebisaku.
Matahari pun sudah semakin menurun, pukul 3 sore itu. Aku teringat sore hari tiga tahun yang lalu di Jogjakarta, kami pun sedang dalam situasi yang sama.
Bidan pun kembali memeriksa keadaan istri saya dan berkata, “baru naik satu cm lagi”, itu tandanya bukaannya baru mencapai bukaan 4. Mendengar itu, istri ku pun menjadi lebih merasa tidak nyaman. Dan aku pun hanya berharap ini dapat selesai dengan cepat dan semuanya kembali sehat. Sementara rintihan dan kesakitannya sudah sangat bertambah, dan semakin cepat.
Andai kesakitan itu dapat dipindah untukku, maka aku akan dengan senang dan ikhlas menerimanya.. hanya itu yang bisa aku pikirkan dengan melihat istriku berjuang pada hal ini.
15 menit berlalu, rintihannya semakin menyayat pendengaran dan hatiku. Aku hanya bisa menenangkannya kembali dengan memintanya bernafas dengan baik teratur. Karena rintihan, tangisan hingga jeritan itu akan dapat mengurangi kekuatannya kelak saat waktunya melahirkan.
Kemudian bidan itu pun terpaksa ku panggil kembali karena saya melihat istri saya sudah terlalu lelah, dan dia pun sudah mulai merasa tidak kuat lagi menahannya.. Namun bidan pahlawan itu tetap memberinya semangat dengan mengatakan bahwa “Kamu pasti kuat, Ayo..!!”.
Lalu dia memeriksanya kembali dengan berencana untuk memecahkan ketuban secara manual dengan tangannya. Namun ternyata ia berkata, “ Udah ayo mulai.., Dorong yang kuat ya, Sekarang..!!”. Lalu mengulanginya lagi dan lagi perkataan tersebut. Saat itu aku benar-benar tidak memperhatikan apa yang mereka lakukan, aku hanya bisa memandangi istri ku. Hanya bisa memegang tangan terus dan mendekati wajahnya yang sedang berada pada masa mempertaruhkan hidupnya demi aku dan anak-anakku.
Kemudian waktu pun seakan berhenti sejenak.. 2 detik terlama dalam hidupku itu adalah saat aku mulai melihat kepala cantik itu keluar, kemudian disusul tubuh mungilnya dan lalu seluruh tubuhnya pun telah sampai pada dunia baru miliknya. Gemetar tanganku saat mendengar tangisan yang keluar dari mulut mungil itu. Lalu kudengar, “Perempuan, Cantik nih..,” kata bidan yang menolong istri ku.
Perasaan yang tak terbayang, sepertinya aku telah diberikan botol kebahagiaan yang telah kutenggak seluruh isinya dalam 2 detik itu. Semua ketakutanku ini pergi dan bersenandung dengan para Tuhan, menari dan akhirnya jatuh over dosis akan kebahagiaan. Persaan ini tak akan dapat engkau lukiskan dengan cat yang termahal sekalipun, tak aka dapat tercapture dengan film yang menggunakan kamera tercanggih dari masa depan manapun. Karena surga pun akan binasa dengan datangnya suara indah dimana setan, malaikat dan Tuhan pun membisu mendengarnya..
Aku hanya berharap kamu bisa menjadi perempuan yang kamu inginkan..
Do'a kami di hatimu.. :)
No comments:
Post a Comment